Filsafat Ilmu
Sejarawan
Barat dan mereka yang memandang filsafat Islam dengan kaca mata Barat,
menganggap bahwa kemunduran filsafat Islam di belahan timur dunia Islam menjadikan
filsafat secara umum telah musnah di kawasan itu. Sekalipun anggapan ini tidak
benar sepenuhnya, namun dapat menunjukkan semangat penentangan terhadap
filsafat. Hebatnya penentangan yang dilakukan oleh para arif dan teolog membuat
tidak ada lagi filosof yang muncul dari kawasan timur dunia Islam.
Di dunia
Islam, filsafat telah melalui berbagai macam periode. Perjalanan filsafat Islam
dimulai secara resmi di abad ke dua dan tiga Hijriyah, berbarengan dengan
penerjemahan karya-karya pemikir Yunani. Sebelumnya, sekalipun kajian teologi
cukup digandrungi, namun filsafat tidak memiliki posisi tersendiri. Filosof
muslim pertama adalah Abu Ishaq al-Kindi (185-260 H).
Abu Nasr al-Farabi adalah filosof
pertama yang mengonsep filsafat Islam. Al-Farabi selama hidupnya berusaha untuk
mengharmoniskan ide-ide Plato dan Aristoteles. Ia sebagaimana mayoritas pemikir
muslim lainnya, salah menganggap buku Ontologia tulisan Plotinus sebagai milik
Aristoteles. Itulah mengapa tanpa disadarinya ia terpengaruh Neo Platonisme.
Farabi termasuk penggagas filsafat Paripatetik yang pada akhirnya
berhadap-hadapan dengan filsafat-irfani Syaikh Maqtul Suhrawardi. Abu Ali Sina
adalah salah satu filosof lain yang menggabungkan aliran filsafat Paripatetik
ini. Dengan kejeniusannya, ia menuangkan ide-idenya kedalam tulisan-tulisan
filsafat. Ia juga berhasil mendidik muridnya Bahmaniyar menjadi salah satu
pemikir berbakat dalam filsafat Paripatetik.
Masa keemasan filsafat Paripatetik
berada di tangan Ibnu Sina. Faktor ini membuat filsafat menjadi faktor penentu
budaya dan penentu ilmu-ilmu yang lain. Dengan Ibnu Sina, para teolog dan arif
menjadi tertantang. Para arif, yang menganggap argumentasi falsafi bak tongkat
kayu yang rapuh, mulai kasak-kusuk untuk menjauhkan filsafat dari kaum
muslimin. Mereka mengatakan bahwa jalan terdekat dan satu-satunya cara untuk
mengenal al-Haq adalah dengan membersihkan hati dan ibadah. Filsafat hanya akan
membuat orang jauh dari jalan yang sebenarnya.
Di sisi lain, para teolog juga tidak
dapat menerima filsafat. Mereka berpendapat bahwa apa yang diungkapkan oleh
para filosof muslim bertentangan dengan al-Quran dan Hadis, bahkan Islam menolak
filsafat. Salah satu ahli teolog besar yang menetang keras filsafat adalah Abu
Hamid al-Ghazali. Ghazali yang dipengaruhi oleh pemikiran tasawwuf menyebutkan
bahwa dalam 20 pendapat Ibnu Sina bertentangan dengan Islam dan dalam tiga
pandangannya telah sampai pada batas kafir. Tiga pandangan Ibnu Sina yang
dianggap kafir oleh Ghazali adalah:
1. Keyakinan akan qidamnya alam.
2. Pengingkaran akan ilmu Allah atas
obyek-obyek parsial dan kasuistik.
3. Pengingkaran terhadap hari
kebangkitan manusia dengan jasad.
Setelah Ghazali, pemikir yang paling
menentang filsafat adalah Fakhruddin ar-Razi. Ia meyakini bahwa ide-ide
filsafat Paripatetik dan semua terjemahan pemikiran Yunani membuat agama
menjadi kering. Penentangan terhadap filsafat dan pembakaran buku-buku filsafat
membuat filsafat Islam mengalami kemunduran.
Sejarawan Barat dan mereka yang
memandang filsafat Islam dengan kaca mata Barat, menganggap bahwa kemunduran
filsafat Islam di belahan timur dunia Islam menjadikan filsafat secara umum
telah musnah di kawasan itu. Sekalipun anggapan ini tidak benar sepenuhnya,
namun dapat menunjukkan semangat penentangan terhadap filsafat. Hebatnya
penentangan yang dilakukan oleh para arif dan teolog membuat tidak ada lagi
filosof yang muncul dari kawasan timur dunia Islam.
Ketika filsafat mengalami kemunduran
di kawasan timur, muncul beberapa filosof di kawasan Barat. Mereka adalah Ibnu
Bajah, Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd. Ibnu Bajah mengkonsentrasikan ide-idenya
untuk melawan tasawwuf. Ia menganggap tasawwuf sendiri sebagai hijab dan
penutup manusia dari kebenaran. Kebalikan dari cara pandang urafa, Ibnu Bajah
menganggap satu-satunya jalan untuk mengenal adalah filsafat. Karena filsafat
tidak dicampuri oleh segala macam kelezatan fisik. Ia menambahkan bahwa
kemungkinan inilah yang membuat para filosof diasingkan oleh masyarakat yang
bodoh.
Setelah Ibnu Bajah, muncul Ibnu
Thufail dengan kisah monumentalnya Hayyu bin Yaqzhan. Kisah itu membuatnya
terkenal. Dalam cerita falsafinya itu ia berusaha untuk membuktikan bahwa manusia
dengan akalnya dapat mengenal Allah. Kemampuan itu dapat diraih sekalipun tanpa
bantuan wahyu dan Nabi. Cerita ini sangat mendapat perhatian Barat, sehingga
mereka menerjemahkannya dalam berbagai bahasa. Semua peneliti mengetahui bahwa
Daniel Defoe yang menciptakan tokoh Robinson Crusoe benar-benar dipengaruhi
oleh ide Ibnu Thufail.
Sebegitu terkenalnya kedua pemikir
ini, masih di bawah bayang-bayang Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad
bin Rusyd (520-595 H). Hal itu karena pengaruh Ibnu Rusyd lebih kuat dari
keduanya. Ibnu rusyd seperti tokoh-tokoh filsafat Paripatetik lainnya,
senantiasa berusaha untuk mengharmoniskan antara filsafat dan agama. Selain
itu, ia juga menulis buku "Tahafut at-Tahafut" untuk menjawab tulisan
Ghazali "Tahafut al-Falasifah". Dalam membela pemikiran filsafat, ia
sampai pada kesimpulan bahwa hanya filosof saja yang mengetahui rahasia-rahasia
al-Quran dan yang berhak untuk mentakwilkannya. Ibnu Rusyd menganggap bahwa
kritikan Ghazali terhadap filsafat muncul karena Ibnu Sina tidak mampu
menjelaskan filsafat sebagaimana yang dijelaskannya. Dengan itu, sebenarnya,
bukan saja Ibnu Rusyd melakukan menjawab kritikan Ghazali tapi sekaligus
mengkritik ibnu Sina.
Perbedaan ibnu Rusyd dengan farabi
dan Ibnu Sina pada pengaruh ide-ide Neo Platonisme. Ia lebih sedikit
dipengaruhi oleh ide Neo Platonisme. Ia menolak ide penciptaan dari tiada dan
menetapkan keabadian materi. Ia menulis syarah buku-buku Aristoteles yang
sampai saat ini masih dikaji oleh pengamat pikiran-pikiran Aristoteles.
Begitulah William David Rush peniliti pikiran-pikiran Aristotels dalam
buku-bukunya masih mempergunakan penjelasan Ibnu Rusyd. Dengan syarah-syarahnya
atas buku Aristoteles pemikirannya banyak di kaji di Barat. Ernest Renan
menganggapnya orang yang bebas. Sebelum menetapkan sebuah istilah ia adalah
seorang yang bebas dalam berpikir. Pengaruh Ibnu Rusyd di Barat dapat juga
dilacak lewat tulisan-tulisan pemikir Barat pada abad pertengahan yang
menimbulkan semakin luasnya ide Rasionalisme di Barat. Ironisnya, pengaruhnya
di Barat tidak sepadan dengan respon kaum muslimin di kawasan timur dunia
Islam. Pengaruh tasawwuf yang cukup kuat membuat pikiran-pikiran filsafat Ibnu
Rusyd tidak dikenal orang di sana.
Denga penjelasan yang lebih detil,
pada periode ini perjalanan filsafat Islami ada ketaktertautan yang menganga.
Di satu sisi, Ibnu Rusyd tidak dikenal oleh kaum muslimin dan di sisi lain,
dengan meninggalnya ibnu Rusyd Barat menganggap filsafat islam telah tutup mata
dan musnah. Akhirnya, filosof seperti Suhrawardi, Khajah Nashiruddin at-Thusi,
Mir Damad dan Mulla Shadra tidak dikenal.
Buku "Kecemerlangan Ibnu Rusyd
dalam filsafat Paripatetik" (Derakhshesh-e Ibnu Rusyd Dar Falsafe-ye
Massha), merupakan buku dalam bahasa Parsi yang secara terperinci membahas ide-ide
filsafat Ibnu Rusyd. Profesor Ghulam Hossein Ebrahimi Dinani, dengan pengalaman
bertahun-tahun mengajar dan menulis berusaha untuk memperkenalkan kecemerlangan
pemikiran Ibnu Rusyd yang tidak terlalu dikenal di dunia Islam. Ia menyebutkan:
"Ibnu Rusyd begitu terkenal di
pusat-pusat penelitian dunia. Di antara filosof Iran ia tidak begitu dikenal.
Bukan omong kosong bila ada yang mengatakan bahwa selama delapan abad setelah
meninggalnya ibnu Rusyd, belum ada buku berbahasa Parsi yang ditulis menjelaskan
pemikirannya. Inilah yang mendorong penulis untuk menulis buku ini. Penulis
berusaha untuk membahas dan menganalisa pikiran-pikiran Ibnu Ruysd. Sekaligus
sebagai buku pertama bahasa Parsi yang ditulis dalam rangka mengkaji secara
terperinci pemikiran Ibnu Rusyd."
Kecemerlangan Ibnu Rusyd dalam
filsafat Paripatetik dimulai dengan kata pengantar yang cukup panjang. Karena
di sana, dibahas juga tentang hubungan antara filsafat Islam dengan filsafat
Yunani. Di akhir kata pengantar ini, Ibnu Rusyd diperkenalkan sebagai filosof
yang mengikuti ide-ide Aristoteles dan membela pemikiran Yunani.
Dinani menganggap bahwa Kebanyakan
filosof muslim, terutama Farabi dan Ibnu Sina, dalam mengkaji ide-ide
Aristoteles tidak mengambil sikap pasif, namun aktif melakukan kritik. Dengan
alasan ini, kedua filosof ini tidak murni menganut pikiran Aristoteles. Pikiran
filsafat mereka dipengaruhi Plato, Neo Platonisme dan pikiran mereka sendiri
yang muncul ketika mereka melakukan kritik terhadap pikiran Aristoteles. Atas
dasar inilah, Ibnu Rusyd menganggap ibnu Sina telah keluar dari bingkai
pemikiran Aristoteles. Ebrahimi Dinani meyakini kebenaran tuduhan Ibnu Rusyd
terhadap ibnu Sina. Namun, itu tidak berarti kekurangan ibnu Sina, melainkan
untuk menunjukkan kebebasan berpikir dari Ibnu Sina. Dan di situlah kelebihan
ibnu Sina. Dengan melihat penilaian Ibnu Rusyd atas Ibnu Sina dapat diketahui
bahwa ia benar-benar sebagai perwakilan pemikiran Aristoteles.
Bab pertama buku ini "Pengaruh
pemikiran Ibnu Ruysd dan Ibnu Sina terhadap karya-karya filsafat Barat di abad
pertengahan". Dalam bab ini, Dinani membeberkan juga bagaimana Ibnu Ruysd
dipengaruhi oleh ide-ide pemikir Islam sebelumnya. Selain itu, penulis juga
menjelaskan pengaruh pemikiran Ibnu Rusyd selama empat abad dalam pemikiran
Barat. Ia membawakan dialog antara pemikiran Ibnu Ruysd dengan para pendeta.
Karya ibnu Rusyd pertama kalinya
diterjemahkan ke bahasa latin pada abad tiga belas. Bukunya diajarkan dan
menjadi primadona di universitas-universitas Eropa. St. Aquinas pemikir paling terkenal di abad pertengahan yang
dipengaruhi oleh ide-ide ibnu Rusyd. Di kalangan Yahudi yang terpengaruh
pemikiran Ibnu Ruysd seperti; Musa bin Maimun, Yossef bin Yahuda dan
pemikir-pemikir Yahudi Andalusia. Mereka menyebut Ibnu Rusyd sebagai semangat
dan akal Aristoteles.
Bab kedua "Hakikat ganda atau
dua hal yang dicerap dari hakikat yang satu". Bab kedua ini membicarakan
tentang substansi hakikat menurut pandangan Ibnu Rusyd. "Hakikat
ganda" atau "hakikat muzdawij" merupakan pandangan khas milik
Ibnu Rusyd. Pendapat ini sangat menarik perhatian pemikir-pemikir Barat. Yang
dimaksud dengan ide hakikat ganda Ibnu Rusyd adalah "Memiliki arti bahwa
Ibnu Rusyd ingin membedakan antara hakikat yang dibawa oleh agama dan hakikat
yang dipahami oleh para filosof". Setelah menukilkan dan menjelaskan teori
hakikat ganda milik Rusyd, penulis kemudian melakukan analisa kritis
terhadapnya. Yang paling menarik dalam bab ini adalah usaha penulis untuk
menerapkan teori ini dalam berbagai disiplin ilmu; dimulai dari hubungan antara
agama dan negara sampai masalah pluralisme agama. Pada akhir dari bab ini,
Dinani menukil ibarat Ibnu Rusyd dan menganalisanya dan menyimpulkan bahwa
sebenarnya ide Rusyd tidak bermakna ada dua hakikat tapi ada dua tingkatan hakikat;
batin dan lahir. Mereka yang meyakini bahwa hakikat ada dua, dan bukan dua
tingkatan, tidak tepat dalam memahami ibarat Ibnu Rusyd.
Bab ketiga "Musuh para teolog
telah menggantikan mereka". Pada bab ini, dapat ditemukan kajian Dinani
tentang hubungan pemikiran keagamaan Ibnu Rusyd dan Ghazali. Di sini, penulis
membawakan contoh-contoh pentakwilan dari Ibnu Rusyd. Setelah membawakan
contoh-contoh itu, penulis kemudian melakukan analisa. Akhirnya, Dinani
meyakini bahwa kritikan dan cibiran Ibnu Rusyd terhadap para teolog mencakup
dirinya juga. Mengapa demikian? Dinani melihat bahwa Ibnu Rusyd dari sisi
kefaqihan dan pemikirannya membuatnya lebih mirip ahli teolog.
Bab keempat membicarakan usaha Ibnu
Rusyd untuk mengharmoniskan fiqih dan filsafat. Cara pandang ibnu Rusyd
terhadap fiqih membawa pada keyakinan akan terbukanya pintu ijtihad. Sayangnya,
itu tidak diikuti dengan penjelasan yang lebih tentang substansi ijtihad dan
bagaimana terbukanya pintu ijtihad itu.
Bab kelima "Tahafut at-Tahafut
Ibnu Ruysd kritikan terhadap Ghazali ataukah kepada Ibnu Sina?". Bab ini
menganalisa dua buku masyhur Ghazali dan Ibnu Rusyd. Di sela-sela itu, penulis
membawakan pemikiran Ibnu Sina. Bab ini sangat menarik, karena penulis secara
terperinci dan luas mengkaji kehidupan dan aktivitas sosial Ibnu Rusyd dan Ibnu
Sina. Informasi ini sangat menarik karena menyingkap banyak hubungan-hubungan
yang selama ini tidak diperhatikan. Dan denganmembaca buku ini, semua itu dapat
teraba dengan baik.
Bab keenam masih merupakan kelanjuta
bahasan sebelumnya. Bab ini merupakan bagian paling sensasional. Karena
membahas perbedaan antara Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina. Perbedaan mendasar pada
masalah paling prinsip "hubungan antara mahiyah dan wujud". Penulis
meyakini akan pentingnya masalah ini. Oleh karenanya, dengan sabar ia membahas
masalah ini sejelas mungkin. Di akhir bab ini, penulis membawakan pandangan
Ibnu Rusyd sambil juga membawakan pandangan pemikir-pemikir Islam dan kemudian
menganalisanya.
Bab ketujuh "Ibnu Rusyd dan
usaha menetapkan keberadaan Allah dengan dua dalil; Inayah dan Ikhtira'".
Cara menetapkan keberadaan Allah lewat argumentasi imkan dan wujub tidak
diterima oleh Ibnu Rusyd. Untuk itu, ia menawarkan argumentasi lain. Pertama,
argumentasi Inayah yang berlandaskan kesiapan dunia untuk manusia dan
tersedianya segala sesuatu untuk mannusia di dunia. Kedua, argumentasi
Ikhtira', di mana manusia adalah mukhtara' (yang dibuat/dicipatakan) perlu akan
mukhtari' (pencipta). Dalam bab ini, Dinani menganalisa pendapat ibnu Rusyd
dengan membandingkannya dengan pendapat para filosof lainnya.
Bab kedelapan penulis membahas
pengertian "Ghair Mutanahi bil Fi'l". Apakah pengertian ini
kontradiksi atau tidak, dikaji secara terperinci. Pengertian istilah ini
merupakan kajian yang dibahas baik dalam filsafat Yunani dan Islam. Istilah ini
sangat erat kaitannya dengan teori fisika dan meta fisika. Di sini, Dinani
membahasnya dari sudut pandang Ibnu Rusyd dan pemikir lainnya.
Bab kesembilan membahas tentang
"Kulli Tabi'i". Pertanyaan penting dalam masalah ini adalah,
"apakah kulli tabi'i ada secara faktual?" Masalah wujud kulli
merupakan kajian paling penting dalam sejarah filsafat. Dinani, membawakan
pandangan para filosof Paripatetik, khususnya Ibnu Rusyd, sekaligus bentuk
penafsiran-penafsirannya atas masalah ini.
Bab kesepuluh "Ibnu Rusyd
beribicara tentang Maqashid Syariah". Filosof paling pertama yang
berbicara tentang masalah ini adalah Ibnu Rusyd. Ia menolak cara pandang
Mu'tazilah dan Asya'irah dan membawakan pandangannya dalam masalah ini. Menurutnya,
mengetahui maqashid syariah sangat membantu seorang teolog dan faqih.
Bab sebelas "Tanpa akal fa'al
tidak ada yang dapat berpikir". Posisi Ibnu Rusyd dalam masalah akal
dijelaskan panjang lebar. Dalam bab ini dijelaskan mengenai tahapan-tahapan pengetahuan
mulai dari akal hayulani hingga akal fa'al. Dijelaskan juga mengenai kekhususan
setiap tahapan dan bagaimana mendapatkan pengetahuan. Akal fa'al bagi para
pensyarah Aristoteles merupakan bahasan yang penting, namun senantiasa buram
dan ambigu. Itulah yang membuat Ibnu Rusyd membahas masalah ini juga. Di
akhirnya dijelaskan pandangan Ibnu Rusyd tentang akal fa'al.
Bab kedua belas membahas kekhususan
metode Ibnu Rusyd dalam tafsirannya terhadap filsafat Aristoteles. Bab ini
masih merupakan kelanjutan kajian epistemologi filosof Andalusia ini dan
hubungannya dengan disiplin lain seperti teologi.
Bab terakhir "Menurut Ibnu
Rusyd, argumentasi rasional merupakan masalah batin". Pertemuan Ibnu Rusyd
dengan Ibnu Arabi dan apa saja yang terjadi dengan keduanya dijelaskan di sini.
Dari sini, penulis menuliskan kesamaan dan perbedaan antara dua pemikir besar
ini. Yang satunya adalah tokoh Paripatetik dan satunya lagi tokoh tasawwuf.
Selain itu, penulis juga membahas pikiran-pikiran lain Ibnu Rusyd.
Pentingnya buku ini karena ditulis
oleh filosof tentang seorang filosof yang tidak begitu dikenal. Padahal, Ibnu
Rusyd merupakan filosof penting Islam. Buku ini tidak hanya sekedar sejarah.
Namun, sebagaimana tulisan lain profesor Dinani "Ma Jara-ye Fekre Falsafi Dar
Jahan-e Eslam", buku ini dipenuhi dengan analisa mendalam dan menarik
petualangan akal dalam pemikiran dan hati kaum muslimin. Mungkin itulah yang
mendasari penulis untuk tidak memberikan sebuah tempat khusus untuk menuliskan
sejarah hidup Ibnu Rusyd secara lengkap. Namun, di sela-sela pembahasannya
setiap kali perlu menjelaskan kehidupan Ibnu Rusyd itu dilakukannya.
Penjelasan global seperti ini tidak
dapat menjelaskan substansi buku ini. Sudah pasti bahwa tidak ada model
pengetahuan apapun yang dapat menggantikan membaca. Bagi yang ingin membaca
buku ini disyaratkan sedikit banyak telah mengetahui tentang filsafat Islam dan
sejarahnya.
Buku ini dapat menjadi jembatan
untuk lebih mengenal siapa Ibnu Rusyd, sekaligus menghidupkan kembali sisi-sisi
yang selama ini tersembunyi dari filsafat dan budaya Islam. Kecemerlangan
filsafat Islam membutuhkan karya-karya seperti ini.
Tentang Profesor Ghulam Hossein Ebrahimi Dinani
Doktor Ghulam Hossein Ebrahim Dinani
lahir pada tahun 1313 HS atau kira-kira 72 tahun lalu di desa Dinan bagian dari
propinsi Isfahan. Di tempat kelahirannya ia menyelesaikan SD nya. Pada waktu
itu, keinginannya keras sekali untuk belajar agama. Ini mengantarkannya belajar
fiqih, usul fiqih, nahwu, saraf, dan ilmu-ilmu agama lainnya. Ia belajar pada
Syaikh Muhammad Ali Habib Abadi dan Syaikh Abbas Ali Habib Abadi.
Beliau pada tahun pertama dari
dekade 1330, 55 tahun lalu, pergi ke Qom. Di sana, secara serius ia melanjutkan
pendidikannya. Di Qom, ia belajar Syarah Lum'ah, Rasail, Makasib. Begitu juga
ia mengikuti bahts kharijnya di sana. Ia belajar pada Syaikh Abdul Javad
Sedehi, Sulthani Thaba'taba'i, Mujahidi, Imam Khomeini, Sayyid Muhammad Damad,
Ayatullah Boroujerdi dan lain-lain. Pada saat yang sama, ia juga belajar Asfar
Mulla Shadra dan Syifa Ibnu Sina kepada Allamah Thaba'thaba'i. Daya tarik
pelajaran Allamah membuat profesor Dinani mengikuti kelas khususnya. Dan dengan
izin dari Allamah ia mengikutinya.
Pada tahun 1340, 40 tahun lalu, ia
berhijrah menuju Teheran. Ia mengikuti ujian dan berhasil mengikuti kuliah di
fakultas ushuluddin universitas Teheran. Di fakultas ini, ia bertemu dengan
pemikir-pemikir seperti doktor Javad Muslih, Malekshahi dan Rashid memberikan
mata kuliah. Pada masa-masa itu, ia diterima oleh kementrian pendidikan sebagai
pegawai negeri.
Pada tahun 1350, berdasarkan usulan
Syahid Murtadha Muthahhari ia mengikuti ujian untuk menjadi asisten dosen di
universitas Ferdousi Mashad. Ia di dua bidang; sejarah agama dan filsafat
meraih urutan pertama. Ia kemudian memilih untuk lebih banyak aktif di bagian
filsafat. Pada saat yang sama ia menyelesaikan program doktornya di Teheran.
Akhirnya beliau secara resmi di terima di bagian filsafat universitas Ferdousi
Mashad.
Doktor Dinani pada tahun 1361
dipindahkan ke Teheran masih dalam kelompok yang sama, filsafat. Semenjak itu,
ia menjadi anggota tim studi filsafat universitas Teheran. Selain di bidang
filsafat punya pandangan-pandangan khusus, ia juga seorang pemikir dalam bidang
irfan dan fiqih. Dan dalam dua bidang ini, ia mempunyai banyak tulisan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar